MOBILKU TERSADAI DI SUNGAI AGUNG
Oleh: Hermansyah
Tapung, Suaraaura.com – Sejak menjadi pendamping lokal desa (PLD), banyak pengalaman yang dirasakan. Pengalaman itu ada suka, namun lebih banyak dukanya. Seperti yang saya alami menjadi PLD di Desa Sungai Agung Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Ada cerita suka dan duka yang sulit dilupakan.
Cerita sukanya, jika apa yang disarankan kepada desa terkait kebijakan atau aturan lalu dijalankan desa, menjadi kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri. Misalnya kebijakan tentang bantuan langsung tunai (BLT) terkait kriteria orang yang berhak menerima. Setelah dikemukakan kebijakan pemerintah asal jangan tumpang tindih dengan program bantuan sosial yang dikeluarkan dinas sosial atau yang menerima PKH, maka selain itu tergantung kejelian aparat pemerintahan desa atau ketua RT menilai kondisi warganya. Jika memang patut dibantu, silahkan bantu. Layak atau tidaknya tergantung kesepakatan berdasarkan musyawarah desa.
Hampir semua desa dampingan saya menerapkan usulan yang disampaikan. Begitu juga terhadap padat karya tunai (PKT), sebagai pekerjanya libatkan semua warga kurang mampu, baik itu pengangguran dan putus kerja karena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau warga terlantar lainnya.
Demikian juga halnya terkait dengan program ketahanan pangan akibat dampak covid 19, pemerintahan desa ternyata mau menerima saran agar difokuskan pada program penambahan gizi warga, karena tujuannya agar tercukupi kebutuhan gizi warga dan jangan sampai ada yang stanting atau kelaparan dan kurang gizi. Begitu juga dengan pekerjaan fisik, jika pekerjaan sudah dijalankan sesuai prosedur, terlaksana dengan baik dan sukses, maka disitulah lahirnya rasa kepuasan bathin bagi tenaga pendamping lokal desa.
Namun ternyata banyak juga cerita dukanya. Saya mendampingi tiga desa yang berjauhan. Apalagi jarak tempuh antara tempat tinggal dengan desa dampingan saya sampai memakan waktu dua jam lebih perjalanan dengan mobil. Misalnya desa Sungai Agung Kecamatan Tapung. Saya berangkat dari rumah pukul 07.00 WIB dan baru sampai pukul 09.20 WIB di kantor desa. Jika kondisi hujan, jalannya sangat sulit ditempuh, karena licin dan lonsor. Kondisi jalannya banyak yang rusak, dan belum diaspal. Hal ini membuat perjalanan terganggu dan sangat melelahkan.
Suatu ketika di bulan Oktober tahun 2019, saat itu desa Sungai Agung menggelar musyawarah rencana kegiatan pembangunan (RKP). Saat itu kondisi jalan yang saya tempuh menuju Sungai Agung dalam keadaan licin karena pada malam harinya terjadi hujan lebat. Kondisi jalan yang saya tempuh saat itu sedang melewati tanjakan sepanjang 36 meter kurang lebih. Saya mengendarai mobil Toyota Avanza BM 1925 FH warna hitam metalik keluaran September 2008.
Saya berangkat sendirian dari rumah yakni dari Salo Timur menuju desa Sungai Agung yang saat itu mengadakan Musyawarah Desa (Musdes) Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes). Setelah menempuh perjalanan dua jam dari jalan besar, ada 11 Km lagi yang harus ditempuh menuju Desa Sungai Agung. Sepanjang 7,5 Km kondisi jalannya belum diaspal. Jika musim hujan berlumpur dan longsor. Saat itu hujan turun mengguyur jalan. Saya mulai menemui kesulitan disaat melewati tanjakan. Dengan kondisi terseok-seok separoh pendakian sudah terlewati, ban belakang terus berputar kencang, namun mobil tidak beranjak, malah bergesernya kesamping. Lalu saya turunkan kecepatan dan mundur sambil mencari strategi. Tidak ada satupun orang yang lewat saat itu. Saya berpikir sambil terus berdoa agar dimudahkan jalan menuju kantor desa.
Setelah beberapa kali saya coba mengulangi, namun tidak juga berhasil. Mobil yang saya setir malah menyerempet ke dinding tanah disamping kanan jalan dan tersadai beberapa saat. Saya semakin panik, namun saya tetap waspada. Tidak ada orang yang bisa dimintai bantuan. Kondisi jalan sangat sepi, karena suasana masih hujan. Untung saja mobilnya tidak terpuruk. Saya terus berupaya dan berdoa dalam hati minta pertolongan Allah SWT menyelamatkan saya. Medan jalan yang saya hadapi begitu berat. Saya pun sudah pasrah jika terjadi hal buruk yang akan menimpa mobil saya. Saat itu saya berpikir, jika mobil miring lalu membentur tembok dinding jalan, maka mobil pasti akan penyot.
Namun atas pertolongan Allah SWT, mobil tersebut bisa terkendali dengan baik. Saya mundurkan lagi mobilnya dengan penuh hati-hati bercampur risau. Saat itu saya berpikir jika mobil miring dan terbalik atau membentur dinding tanah dan hancur, barangkali tidak akan sanggup diperbaiki dengan honor yang saya terima sebagai PLD, karena mobilnya tidak lagi diasuransi.
Saya menghela napas panjang dan berpikir untuk berhenti dari PLD. Namun jika saya berhenti maka pendapatan Rp2.400.000,- yang saya terima setiap bulannya tentu akan hilang. Padahal saya masih perlu membiayai satu isteri dan tiga orang anak yang masih bersekolah ditambah mertua perempuan yang serumah dengan ku. Sebelumnya saya tidak menyangka tempat tugas yang akan saya tempuh demikian jauh dan sulit. Namun karena beban dan tanggungan masih berat, saya jalani pekerjaan ini dengan sabar.
Dalam kondisi berpikir dan mengenang nasib pekerjaan yang dihadapi, tiba-tiba lewat mobil truk Colt Diesel dari arah belakang. Sebelumnya mobil yang saya kendarai sudah dipinggirkan ke kiri. Saya berpikir dengan lewatnya truk tersebut kondisi jalan sudah bertambah kuat dan kokoh. Dugaan saya ternyata benar. Mobil truk tadi dengan lambat namun pasti, dapat melewati tanjakan tadi tanpa ada rintangan sedikitpun. Mungkin karena mobilnya roda enam dan lebih berat dari avanza, sehingga tidak terkendala. Saya pun mulai bersemangat lagi, saya turuti jejak ban mobl truk tadi dengan penuh hati-hati, akhirnya saya pun berhasil menaiki tanjakan dan selamat menuju kantor desa Sungai Agung.
Warga desa sudah lama mengeluhkan kondisi jalannya. Mereka ingin sekali jalannya diaspal. Setiap jelang Pemilu, warga selalu diberi harapan untuk dibangun aspal. Namun janji tinggal janji, kondisi jalan tersebut sampai sekarang belum juga berubah. Sekretaris Desa Sungai Agung Hasbi SE mengatakan, Pemerintah Kabupaten Kampar pernah membangun jalan aspal ke Sungai Agung sepanjang 3,5 Km dari titik kantor desa menuju jalan besar. Namun sampai sekarang pengaspalannya tidak kunjung selesai. Total panjang jalan yang akan diaspal menuju desa Sungai Agung tinggal 7,5 Km lagi.
Sulitnya kondisi jalan menuju desa Sungai Agung juga dirasakan oleh Tenaga Ahli (TA) Tenaga Pendamping Profesional (TPP) Kabupaten Kampar Wendi Moretha. Saat itu Wendi bersama Koordinator TA Kabupaten Kampar Sherly Arianty juga mengalami nasib naas. Mobil Daihatsu Xenia warna putih yang dikemudikan Wendi tersangkut di tanjakan dari kantor desa Sungai Agung menuju pulang ke Bangkinang. Saat itu mereka baru selesai mengadakan sosialisasi SDGs dari kantor desa Sungai Agung bulan Nopember 2020. Kondisi jalan licin dan lonsor, karena malamnya diguyur hujan lebat.
Kades Sungai Agung M Akhyar Siddik sudah mewanti-wanti akan membawa mobil Moretha melewati tanjakan. Saya sendiri menyerahkan kunci mobil kepada Kades dan berhasil melewati tanjakan tersebut. Namun Wendi Moretha memberanikan diri melewati kondisi jalan berbahaya tersebut. Setelah separoh tanjakan dilalui, mobilnya terseok-seok dan akhirnya menabrak kayu di pinggir jalan, sehingga membuat bamper bagian kiri depan mobilnya penyot. Ia kemudian memundurkan mobilnya dan menyerahkan mobilnya kepada Kades untuk melewati tanjakan.
Kondisi jalan sulit ini sudah bertahun-tahun dirasakan warga setempat. Sebagian warga sengaja membeli motor roda dua mirip motor balap, seperti X-trail. Ini sebagai antispasi agar kenderaan tidak mudah terpuruk dan kuat menempuh tanjakan. Sebab kondisi jalan menuju desa Sungai Agung selain jalannya tanah dengan batu-batuan, juga terdapat banyak tanjakan dan berlubang serta longsor disaat hujan lebat.
Sulitnya kondisi jalan menuju Sungai Agung juga dirasakan oleh almarhumah isteri saya Ermita. Sebelum meninggal dunia, ia ingin ikut mengunjungi desa-desa dampingan saya. Kami berangkat sekeluarga ke desa dampingan bersama anak-anak menelusuri desa Sumber Makmur, terus ke desa Petapahan Jaya dan terakhir ke desa Sungai Agung kecamatan Tapung. Selama di perjalanan menuju desa Sumber Makmur dan Petapahan Jaya, isteriku terlihat enjoy saja. Kondisi jalan ke desa Sumber Makmur dan Petapahan Jaya lumayan bagus karena sudah diaspal, walaupun aspalnya banyak yang rusak.
Namun dalam perjalanan menuju desa Sungai Agung ia mulai risau dan khawatir karena disamping jauh, ditambah lagi kondisi jalannya tidak bagus, yakni jalan tanah dan mendaki menurun. Saat pulang dari desa Sungai Agung, kami melewati jalan kebun sawit milik PT. Padasa Enam Utama (PEU). Suasana jalan di lokasi perkebunan sawit sangat lengang, tidak ada orang yang lalu lalang. Yang terlihat hanyalah hamparan perkebunan sawit. Sesekali terlihat karyawan perusahaan yang sedang panen.
Isteriku khawatir, jika ada orang berbuat jahat, seperti begal atau perampok, maka tidak akan ada orang yang menolong. Hal ini menjadi pemikiran berat bagi isteriku, sehingga setiap kali aku mau ke Sungai Agung, ia selalu risau dan mengkhawatirkan keselamatanku. Maka setiap kali saya pamitan untuk berangkat ke desa dampingan, isteriku selalu bertanya mau ke desa mana.
Jika disebut ke desa Sungai Agung, ia mulai risau. Mungkin karena itu juga salah satu yang membuat beban pikirannya menjadi berat. Sehingga ia jatuh strook dan meninggal dunia.
Isteriku sangat mencintaiku dan selalu merisaukan pekerjaanku. Ia meninggal setahun yang lalu. Persisnya tanggal 13 April 2021. Salah satu penyebabnya mungkin karena banyak pikiran. Kami memiliki tiga orang anak. Nomor satu perempuan namanya Ulia Pratiwi. Saat ibunya akan meninggal dunia, ia baru saja tamat pesantren dan akan melanjutkan kuliah. Anakku nomor dua namanya Zada Zayani, masih duduk di kelas 1 MTs saat itu.
Anakku yang ketiga bernama Sakyadi Ahmad. Ketiganya masih memerlukan dana untuk melanjutkan sekolah dan kuliah. Sedangkan penghasilanku tidak seberapa. Aku mencari nafkah sendirian. Isteriku hanya seorang ibu rumah tangga. Sedangkan mertua perempuanku sudah tua dan tidak berdaya. Kami tinggal serumah bersama anak isteri dan mertua perempuanku.
Mertua laki-lakiku sudah lama meninggal.
Sabar dan Optimis
Jika dipikir-pikir dengan sulitnya perjalanan ke lokasi tugas, rasanya tak cukup dengan honor yang diterima setiap bulannya. Terlalu besar biaya operasional yang dikeluarkan, namun ini harus saya jalani dengan sabar dan optimis. Ongkos BBM ke Sungai Agung sekali berangkat Rp150.000. Sedangkan untuk dua desa lainnya masih bisa ditempuh dalam satu hari bersamaan. Jika dalam sebulan 5 kali ke Sungai Agung berarti biayanya Rp750.000. Untuk ongkos BBM dua desa lainnya Rp100.000 sekali berangkat. Jika dikali 5 kali sebulan, maka biayanya Rp.500.000. Total biaya BBM sebulan untuk tiga desa dampingan Rp1.250.000. Maka jumlah honor yang aku terima setelah dikurangi ongkos BBM tinggal Rp1.150.000 perbulan.
Idealnya honor yang diterima PLD sebesar Rp3.000.000 lebih perbulan. Sebab, selain BBM masih ada paket internet yang harus dibeli setiap bulannya.
Gunanya untuk membuat laporan Daily Report Pendamping (DRP) desa, termasuk media sosial dan biaya tak terduga lainnya. Sekarang, saya sudah mundur sebagai pendamping lokal desa (PLD). Sebab kondisi perjalanan ke desa sangat berat dan jauh dari tempat tinggal.
Saya masih bersyukur karena mertuaku meninggalkan sawah ladang untuk anak-anakku. Mertuaku meninggal dunia hanya berselang satu bulan setelah isteriku meninggal.
Sawah dan ladang tersebut dikerjakan orang lain, dan kami mendapatkan beras dari hasil ladang peninggalan mertua. Mertuaku juga meninggalkan sedikit kebun karet. Uang dari hasil kebun karet itu dijadikan untuk keperluan sekolah anak-anakku. Kini anakku yang besar sudah kuliah semester tiga di Universitas Pahlawan Bangkinang, dan anakku yang nomor dua duduk di kelas satu SMA Negeri 1 Bangkinang Kota. Sedangkan anakku yang nomor tiga bersekolah di Pondok Pesantren Darun Nahdhah Thawalib Bangkinang kelas dua MTs.
Isteriku Ermita (almarhumah) saat masih hidup, ingin sekali aku bekerja menjadi PNS. Namun Allah SWT mungkin belum merestuinya. Tes masuk CPNS sudah aku jalani dua kali, namun tidak lulus. Mobil Avanza aku beli saat bekerja sebagai wartawan di salah satu media harian di Pekanbaru. Pekerjaan wartawan sudah kujalani sejak tahun 2000 sampai sekarang. Namun karena krisis, banyak media harian yang gulung tikar, termasuk media tempatku bekerja. Tahun 2018 saya ikut tes pendamping lokal desa dan lulus cadangan.
Saya ditempatkan di desa Lubuk Siam, Tanjung Balam, desa Pandau Jaya dan Kubang Jaya Kec. Siak Hulu. Setelah setahun, saya pun pindah di kecamatan Tapung dengan tiga desa dampingan yakni Petapahan Jaya, Sumber Makmur dan Sungai Agung. (***)