Pagi itu, 28 Mei 2023, saat bersama seniorku, Aprizal khan dan sahabatku Arief, sembari menikmati sarapan pagi di simpang 4 Panam Garuda Sakti Pekanbaru, ketika kami hendak melanjutkan perjalan pulang ke Bangkinang dari mengikuti puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) dan HUT PWI tingkat Provinsi Riau tahun 2023 di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), saya melihat sepasang anak adam yang juga sama-sama menikmati sarapan pagi di warung sudut simpang empat tersebut.
Awalnya saya tidak begitu memperhatikan mereka, selain sepasang anak adam tersebut duduk di meja bagian belakang, kami juga asyik menceritakan kemeriahan peringatan HPN atas sinergitas dan dukungan seluruh stakeholder dan elemen masyarakat yang hidup di negeri hamparan kelapa dunia tersebut.
Bahkan Ketua PWI Pusat, Atal S Depari mengagumi kemeriahan dengan banyaknya rangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh PWI Riau bersinergi dengan Pemerintah Provinsi Riau dan pemerintah Kabupaten Inhil, serta dukungan dari seluruh stakeholder dan elemen masyarakat Inhil. Kerena begitu meriahnya peringatan puncak HPN tahun 2023 tingkat Provinsi Riau tersebut, Atal S Depari merasa berada pada suasana peringatan HPN tingkat nasional ketika berpidato pada podium di atas panggung di depan Bupati Inhil, Drs. Muhammad Wardan, MP.
Setelah sepiring lontong pical habis saya makan, saya mendengar sepasang anak adam yang duduk di belakang ku itu tertawa penuh kebahagiaan. Walaupun saya tidak tahu apa topik yang menjadi bahan tertawaan mereka, tetapi dari raut wajahnya tersirat kebahagiaan tanpa beban.
Awalnya saya menyangka, mereka adalah pasangan suami isteri, tetapi saat mereka hendak membayar apa yang mereka bayar di pagi penuh hikmah itu, barulah saya mengetahui, bahwa mereka bukanlah pasangan suami isteri. Karena mereka membayar masing-masing apa yang mereka makan.
Melihat mereka sebagai insan yang ramah, sayapun bertanya kepada mereka:
Bang!, apakah abang dan kakak bukan suami-isteri ?
Laki-laki itu menjawab: bukan bang, kami hanyalah sahabat yang baru berencana mau menikah.
Secara bergurau saya berkata: pantas saja, abang gak bayarkan makanan kakak.
Cepatlah menikah bang!, kata saya kepada laki-laki itu.
Laki-laki itu menjawab: iya bang, kami akan segera menikah!.
Lalu saya berkata: nanti kalau menikah, apakah abang bayarkan makanan punya kakak?,
Secara spontan, wanitanya menjawab: iyalah bang, kalau sudah suami isteri, maka uang suami punya isteri, dan uang isteri punya isteri, ungkap wanita itu sembari tertawa.
Sembari tertawa, laki-laki itupun menjawab: benar, uang suami untuk isteri, tetapi tubuh isteri untuk suami, tidak boleh dibagi untuk orang, ungkap laki-laki itu sembari tertawa terbahak-bahak, kamipun dibuatnya tertawa bersama.
Seusai tertawa, pasangan anak adam itupun hendak bergegas meninggalkan kami. Sebelum berangkat, laki-laki memasang maskernya dan tutup kepala untuk menghindari panasnya terik matahari di pagi menjelang siang itu.
Karena pasangan masker laki-laki itu tidak lurus, wanita yang mendampinginya cepat meluruskan. Karena laki-laki itu adalah insan yang memiliki keterbatasan pandangan mata (buta).
Sembari memegang tangan laki-laki itu, sang wanita membawa laki-laki itu menuju lampu merah yang ada di simpang empat tersebut. Namun di simpang empat itu, ternyata juga sudah ada sepasang anak adam yang juga laki-lakinya buta yang dipegang oleh seorang wanita seperti sepasang anak adam yang makan bersama kami tadi. Dari kejauhan, saya melihat, dua pasang anak adam tersebut saling berdialog dan berdiskusi.
Entah apa yang mereka diskusikan, yang pasti setelah berdiskusi menjelang lampu merah hidup, mereka kemudian berpencar, seakan membagi lahan tempat mereka mencari rezki untuk memenuhi kebutuhan hidup, dengan mengharapkan simpati dan belas kasihan insan manusia yang memiliki kelebihan rezki dari Sang Ilahi.
Selepas pandangan saya dari dua pasang anak adam tersebut, saya termenung, ternyata apa yang saya saksikan tersebut memberikan pelajaran yang sangat berarti bagi diriku. Pertama, mereka yang memiliki keterbatasan pandangan tersebut mampu merasakan kebahagiaan hidup ini tanpa beban (terlihat dari tertawa mereka waktu menikmati sarapan pagi); Kedua, mereka yang hanya mampu mencari rezki dengan mengharapkan belas kasihan insan yang lain, mampu bersyukur dan memiliki semangat untuk perjuangan masa depannya (sikap enjoy mereka dan rencana pernikahan yang telah mereka idamkan); Ketiga, memiliki sifat dan jiwa yang selalu menjaga silaturrahim sesama manusia (keakraban mereka bersama sahabatnya saat berdiskusi di sudut lampu merah); Keempat, sifat saling pengertian yang mereka miliki (saat mereka membayar makanan masing-masing, padahal mereka meminta sedekah secara bersama); Kelima, sifat saling membantu antar sesama (terlihat saat wanita memperbaiki pasangan masker laki-laki yang tidak memiliki penglihatan tersebut); Keenam, sifat tanggungjawab yang mengerti hak dan kewajibannya (saat mereka berguarau mengatakan, bahwa kalau sudah nikah, uang suami untuk isteri dan uang isteri untuk isteri, dan tubuh isteri untuk suami); Keenam, mereka mampu bekerjasama dengan saling mengisi kekurangan antara yang satu dengan yang lainnya; Ketujuh, walupun hidup dengan kekuarangan fisik, mereka tetap optimis dan memiliki semangat yang tinggi dlam berusaha, serta meyakini bahwa rezki ditangan Sang Ilahi; kedelapan, mereka tidak memiliki sifat iri antara satu dengan yang lainnya, dan mereka saling hidup pengertian antar sesame (mereka tidak ada berkelahi antara satu dengan yang lainnya); dan beberapa pelajaran penting yang saya rasakan dalam diri saya sendiri.
Setelah saya termenung tersebut, saya teringat beberapa waktu yang lalu, 2 orang kepala dinas di negeriku pernah berkata dan menceritakan sifat buruk temannya sesama Kadis dihadapanku, bahwa ada beberapa orang temannya tersebut, jika makan atau minum di rumah makan bersama Bupati, temannya itu jarang mau membayarnya dan selalu berupaya mencari akal agar bebas membayar makanan, dan bahkan temanya itu berpura-pura mau membayar ketika sahabat yang lain sudah membayarnya. Ingin rasanya saya menelpon sang Kadis yang diceritakan oleh temannya itu, agar sang Kadis mau segera belajar tentang kebersihan hati kepada pengemis hebat tersebut.
Selain teringat cerita Kadis itu, dalam hati saya berpikir, bahwa bisa jadi para pengemis itu adalah mereka yang paham dan mampu mempraktekkan anjuran dan tuntunan Nabi Muhammad Rasulullah. Karena dalam kitab Hadist Shahih Bukhari muslim karangan Muhammad Fu’ad Bin Abdul Baqi dituliskan, Dalam sebuah hadist dikatakan, bahwa Anas yang diridho’i Allah atasnya berkata: bahwa Nabi Sallallahu alaihi wasalallam bersabda: ‘tidak sempurna iman seorang sehingga ia mencintai saudaranya (sesama muslim) seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (dikeluarkan oleh Bukhori pada kitab ke-2, kitab Iman dan bab ke-7, bab termasuk kesempurnaan iman adalah mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri).
Kemudian pada hadist yang lain juga dikatakan:
Abu Hurairah Radiallahu anhu berkata: Rasulullah bersabda: ‘waspadalah dari berprasangka, sebab berprasangka adalah perkataan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mendengarkan pembicaraan orang lain (secara sembunyi-sembunyi), jangan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan najasy (berpura-pura menawar untuk menjerumuskan lain orang), jangan iri, jangan saling membenci , dan jangan saling bermusuhan, dan jadilah hamba Allah yang bersaudara.” (dikeluarkan oleh Bukhori pada Kitab ke-78, kitab Adab bab ke-85, bab wahai orang-orang yang beriman jauhilah oleh kalian banyak prasangka).
“Alam menjadi guru. Semoga Allah selalu bersihkan hati dan jiwa kita semua. Semoga semua kita selalu berada pada jalan kebenaran, dan semoga semua kita selalu berada dalam lindungan dan keridho’an Allah Azza Wajallah,” harapku dalam hati.
Penulis: Adi Jondri Putra