Scroll untuk baca artikel





































BeritaDaerahKab. KamparRiauUmum

Bukan Saatnya Media Menjadi Alat Pemukul: Seruan Netralitas di Tengah Polemik Sekda dan Bupati Kampar

14
×

Bukan Saatnya Media Menjadi Alat Pemukul: Seruan Netralitas di Tengah Polemik Sekda dan Bupati Kampar

Sebarkan artikel ini

Oleh: Aprizal Khan (Penasehat Jaringan Media Siber Indonesia Kabupaten Kampar).

Setelah melaksanakan sholat Ashar, Jumat sore (17/10/2025), di salah satu masjid di Kecamatan Bangkinang, langkahku terhenti sejenak di tepi Sungai Kampar. Dari kejauhan, tampak megah Jembatan Waterfront City—kebanggaan masyarakat Kampar—menyilaukan mata dengan pantulan cahaya sore yang lembut. Di pangkal jembatan, Bangkinang Riverside kini menjadi pusat kuliner baru yang ramai dikunjungi warga untuk menikmati sore sambil menyeruput kopi.

Di tengah kedamaian aliran air, pikiranku mendadak terusik oleh riuhnya pemberitaan yang belakangan ini memenuhi ruang publik: polemik antara Sekda Kampar Hambali dan Bupati Kampar Ahmad Yuzar.
Sekda menilai kebijakan sang Bupati banyak yang cacat hukum, sedangkan media berlomba menyorot “serangan terbuka” ini seolah menjadi tontonan yang menggoda.

Sebagai jurnalis yang telah mengabdi lebih dari dua dekade, hatiku terus bertanya: ke mana arah idealisme media saat menghadapi situasi seperti ini?

Apakah pemberitaan kita benar-benar lahir untuk kepentingan publik, atau justru karena “asyiknya” melihat dua pejabat berselisih?

Kita harus sadar—setiap informasi yang disampaikan media adalah konsumsi bagi masyarakat. Jika informasi itu disajikan tanpa verifikasi, tanpa keseimbangan, atau hanya memuat emosi satu pihak, maka masyarakatlah yang paling dirugikan.

Media semestinya tidak menjadi alat pemukul untuk menjatuhkan seseorang.
Media tidak boleh digunakan untuk menyalurkan dendam atau kepentingan pribadi.

Tugas utama media adalah menyampaikan informasi yang berimbang dan mendidik publik, bukan memperuncing konflik.

Dalam konteks polemik Sekda dan Bupati Kampar, media seharusnya menggali keterangan dari kedua belah pihak, menanyakan dasar, alasan, serta bukti dari masing-masing pernyataan. Hanya dengan begitu publik bisa memahami persoalan secara utuh, bukan dari potongan narasi yang bisa menyesatkan.

Lebih penting lagi, media sebaiknya fokus pada dampak konflik terhadap masyarakat.
Perselisihan pejabat publik jangan dijadikan ajang sensasi politik. Yang seharusnya digali ialah bagaimana konflik itu berpengaruh terhadap pelayanan publik, pembangunan, dan kesejahteraan rakyat.
Pertanyaan yang perlu diajukan bukan “siapa yang benar”, tetapi “apa dampaknya bagi masyarakat?”