Pekanbaru, Suaraaura.com – Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Provinsi Riau melepaskan keberangkatan Masyarakat Adat Pantai Raja, Kabupaten Kampar, untuk berangkat ke Jakarta, Jumat, (22/10/2022) yang lalu, berjumlah 31 orang. Rombongan tersebut bermaksud mendapatkan kembali lahan mereka yang dipergunakan PTPN V sejak puluhan tahun lalu.
Dari LAMR tampak hadir Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian LAMR Datuk Seri H. Taufik Ikram Jamil, di dampingi Timbalan Ketua Umum, Datuk Tarlaili M Nur dan Sekretaris Umum, Datuk Jonnaidi Dasa beserta pengurus LAMR Prov Riau lainya. Sedangkan dari masyarakat Pantai Raja antara lain terlihat Pucuk Adat Kenegerian Pantai Raja Abadilah Datuk Abu Garang.
Rencananya, di Jakarta, mereka akan menemui Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Menteri BUMN, Menteri ATR/BPN dan DPR RI. Keberangkatan masyarakat juga didampingi oleh Jikalahari, Walhi Riau, LBH Pekanbaru dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Ketum DPH LAMR Datuk Seri Taufik Ikram Jamil mengatakan, perjuangan masyarakat adat Pantai Raja tersebut adalah perjuangan mendapatkan hak. Oleh karena itu sifatnya termasuk ke dalam jihad. “Selamat berjuang, insyaallah diridoi-Nya, ” kata Datuk Seri Taufik, Senin (24/10/2022).
Diperoleh keterangan, konflik tanah antara Masyarakat Adat Pantai Raja dengan PTPN V kebun Sei Pagar bermula sejak tahun 1984. Saat itu PTPN V membabat kebun karet masyarakat seluas 1.013 hektarr. Masyarakat tidak berani melawan dan siapa saja yang melawan akan dituduh sebagai PKI. Paska reformasi, masyarakat Adat Pantai Raja melakukan aksi menuntut tanah mereka dikembalikan.
Pada 6 April 1999 mereka mengadakan pertemuan dengan Direksi PTPN V yang dihadiri oleh Pemda Tingkat II Kampar, UPIKA Kecamatan Siak Hulu, Direksi PTPN V, beserta Kabag ADM dan staf Gaswilpir (ADO) Kebun Sei Pagar, Forum Mahasiswa yang tergabung dalam FKMKI Ninik Mamak, Tokoh Masyarakat Pantai Raja. PTPN V mengakui luas areal kebun karet Masyarakat yang terkena kebun inti seluas 150 Ha dan PTPN V akan memberikan sagu hati sebesar seratus juta rupiah. Masyarakat menolak sagu hati yang ditawarkan PTPN V dan meminta PTPN V mengembalikan lahan masyarakat namun tak pernah dipenuhi oleh PTPN V.
Pada 11 April 2009 Komnas HAM RI menindaklanjuti laporan masyarakat dan memfasilitasi mediasi di kantor Bupati Kampar yang dihadiri Pemerintah Kabupaten Kampar dan pihak PTPN V. PTPN V bersedia membangun kebun seluas 150 Ha yang membentuk pola KKPA. Masyarakat meminta 150 hektar bukan model KKPA yang artinya berhutang. Jika KKPA, masyarakat meminta pembangunan kebun KKPA seluas 400 Ha, karena masyarakat yang terdampak oleh kebun yang 150 Ha itu sebanyak 157 KK.
Pihak PTPN V menganjurkan membentuk tim gabungan masyarakat dengan pihak PTPN V dan mencari beberapa titik untuk di jadikan kebun. Sudah beberapa kali survei lapangan. Namun lagi-lagi tak ada tindaklanjut dari PTPN V hingga waktu yang disepakati.
Pada 10 Agustus 2020, masyarakat aksi duduki lahan seluas 150 Ha yang diakui oleh PTPN V sebagai tanah milik masyarakat selama 23 hari. Hari ke 14 aksi, masyarakat diundang PTPN V mediasi di kantor Jl. Rambutan, Pekanbaru.
Alih-alih melanjutkan rekomendasi Komnas HAM RI, 18 Agustus 2020 PTPN V melalui Jatmiko K Santosa, Direktur PTPN V justru melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Bangkinang dengan tuntutan ganti rugi sebesar 15 milyar dan melaporkan masyarakat ke Direskrimsus Polda Riau. Hingga 22 September 2021 tokoh masyarakat, ninik mamak masih dipanggil untuk memberikan keterangan kepada Direskrimsus Polda Riau.
Pada 13 Juli 2021, Kantor Staf Presiden (KSP) merespons laporan Masyarakat Adat Pantai Raja. Prinsipnya KSP memahami konflik yang terjadi dan akan segera menyurati Polda Riau untuk tidak melanjutkan proses hukum yang dihadapkan kepada datuk, ninik mamak Pantai Raja. KSP juga mengagendakan untuk kunjungan lapangan.
Pada 21 Juli 2021 majelis hakim Riska Widiana, Sofya Nisra dan Ferdi menolak sebagian gugatan PTPN V, berupa: permintaan PTPN V membayar uang kerugian karena telah memblokir jalan, menduduki kebun dan menghalang-halangi aktivitas PTPN V sebesar Rp 4,5 miliar plus Rp 10 miliar termasuk sita jaminan tidak terbukti, PTPN V meminta warga mengosongkan areal yang diduduki dan bila perlu meminta bantuan kepolisian atau pihak berwajib ditolak majelis karena saat sidang lapangan tidak lagi melihat aksi tersebut.
Pada 25 Oktober 2021, Gubernur Riau, Syamsuar menerima perwakilan masyarakat adat Pantai Raja. Syamsuar menanggapi bahwa persoalan ini mestinya sudah dilaporkan kepada Gubernur Riau sebelumnya. Namun Syamsuar berjanji akan mengecek Kembali ke Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat. Sejauh mana hasil mediasi yang sudah disepakati.
Pada 12 November 2021, Deputi II KSP, Abetnego Tarigan melakukan kunjungan lapangan ke Desa Pantai Raja. Kunjungan ini juga merupakan tindaklanjut dari pertemuan virtual sebelumnya. Dalam pertemuan tersebut Abetnego Tarigan menyatakan bahwa hal tersebut adalah kepentingan masyarakat dan akan segera melihat upaya-upaya yang sudah dilaksanakan dan mencari solusi yang terbaik.
Hingga kini masyarakat adat Pantai Raja sudah sangat dirugikan, kehilangan tanah dan penghasilan, digugat ke pengadilan, dan dikriminalisasi di Polda Riau. Masyarakat adat Pantai Raja sudah mengupayakan penyelesaian mulai dari tingkat kabupaten, provinsi hingga ke staf kepresidenan namun semua menghasilkan sebatas janji.(Adv/ISR)