PEKANBARU, SuaraAura.com – Pihak yang mendaftarkan merek atau logo dan nama suatu lembaga kepada Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), jangan langsung mengaku (mengklaim) sebagai pemilik, sebab masih ada proses dengan waktu yang tidak pendek. Ada masa sanggah dan berbagai proses yang harus dilalui, baru dilanjutkan dengan penetapan hak dalam bentuk sertifikat.
Demikian dikatakan Timbalan Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian Lembaga Adat Melayu Riau (Ketum DPH LAMR) Datuk Tarlaili, menanggapi adanya pihak di bawah kepemimpinan Syahril Abu Bakar mendaftarkan nama dan logo LAMR ke Dirjen HAKI. “Tentu saja kami menyanggahnya sebagaimana diatur dalam undang-undang,” kata Tarlaili.
Ia mengatakan, tindakan Syahril tersebut sudah terpantau pihaknya beberapa hari lalu, karena setiap yang didaftar memang ditayangkan oleh situs HAKI untuk meminta tanggapan umum. Hal ini semakin jelas karena Syahril mengumumkan di media massa, bahkan dengan ancaman menuntut pihak yang menggunakan logo dan nama LAMR, padahal dia baru mendaftar.
Sebagaimana diketahui, UU No 20 tahun 2016 mengatur keberadaan merek dan indikasi geografis. Cuma kalau berkaitan dengan LAMR, secara etika harus dipikirkan bahwa logo dan namanya milik komunal sejak puluhan tahun lalu yang tercantum dalam lembaran negara maupun AD/ART LAMR. Apalagi penciptanya masih hidup.
Nyatanya, Syahril mendaftarkan logo dan nama LAMR ke Kemenkumham yang setiap orang memang dapat melakukannya. Tetapi tidak semua yang mendaftar, akan diterima. “Penyebabnya antara lain disanggah dengan alasan tertentu, misalnya tidak berniat baik. Merek atau logo dan nama tetap bisa diakui, tetapi tidak musti oleh pihak pendaftar, sebaliknya diserahkan kepada yang sah,” kata Tarlaili.
Penerimaan suatu pendaftaran sebagai milik, baru diakui yang ditandai dengan sertifikat HAKI. Kalau sertifikat ini sudah di tangan, baru bisa mengaku sebagai pemilik suatu merek yang tidak bisa digunakan pihak lain. Sementara apa yang dibuat oleh Syahril Abu Bakar, baru tahap mendaftar yang sebagamana lazimnya memang ditayangkan ke khlayak ramai untuk ditanggapi sebagaimana mustinya.
Mengaku sebagai pemilik suatu merek padahal baru mendaftar, lanjut Tarlaili, patut diduga merupakan pembohongan publik. Hal ini setidak-tidaknya, dapat menunjukkan indikasi tidak berniat baik terhadap merek yang didaftarkan itu.
Menurut Tarlaili, indikasi tidak berniat baik lainnya yang dilakukan Syahril adalah mengaku sebagai pihak LAMR. Padahal, kepemimpinan Syahril sudah didemisioner sejak 16 April lalu melalui Musyawarah Besar Luar Biasa (Mubeslub) yang diminta delapan LAMR kabupaten dengan tanda tangan bermeterai lengkap. Sejak saat itu terbentuk pula pengurus baru di bawah pimpinan H. Raja Marjohan sebagai Ketum Majelis Kerapatan Adat dan H. Taufik Ikram Jamil sebagai Ketum DPH.
Syahril kemudian membuat Mubes di Dumai tanggal 22 April. Tetapi sebagaimana diatur dalam AD/ART LAMR, MKA dan DPH harus dikukuhkan oleh Datuk Setia Amanah yang telah melakukannya terhadap LAMR di bawah pimpinan Marjohan dan Taufik Ikram Jamil, akhir April. “Jadi, tak ada ada dualisme LAMR, sebab LAMR yang sah itu di bawah kepemimpinan Datuk Marjohan dan Datuk Taufik, antara lain ditandai dengan pengukuhan oleh Setia Amanah,” kata Tarlaili.
Dalam kaitan itu, Datuk Tarlaili juga mengatakan, karena LAMR kini dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah No.1/ 2012 yang merupakan organisas kemasyarakatan kebudayaan, tidak perlu melakukan pendaftaran. “Itu penjelasan yang kami terima dari Kesbangpol Riau yang sampai berkonsultasi dengan Kemendagri tanggal 10 Mei lalu secara tertulis,” kata Tarlaili.
Mengenai balai adat Melayu, Tarlaili mengatakan bahwa bangunan tersebut merupakan milik pemerintah. Sehingga kalau mereka mau mengambilnya kembali, tentu hak pemerintah pula, bukan hak Syahril yang masih bertahan walaupun sudah diminta untuk mengosongkannya.(***)