Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak akan diselenggarakan di bulan Desember, bulan dimana timbul kekhawatiran akan munculnya kembali fenomena “Money Politics atau Politik Uang, yang merupakan gejala turun-temurun dari tindakan level kontestasi di atasnya. Politik uang bagian dari penghasut runtuhnya demokrasi yang bermartabat. Padahal nilai esensinya dari Pilkades adalah media berdemokrasi dan ruang kebebasan untuk dipilih dan memilih.
Hasil beberapa penelitian menyimpulkan bahwa modus atau pola politik uang dengan menggunakan tim sukses yang datang langsung kepada masyarakat untuk menjanjikan uang dengan jaminan foto copi KK maupun KTP. Ada juga moment serangan fajar. Bahkan bantuan uang oleh pihak di luar calon kepala desa, yaitu cukong-cukong yang akan mengambil “keuntungan/keberhasilan” di masa setelah Pilkades. Dan selagi etika berpolitik tidak dibenahi maka politik uang tentu akan menjamur bagai hantu yang tidak bisa disentuh namun selalu menampakkan bentuk.
Kondisi masyarakat yang pra-sejahtera dan terpuruknya perekonomian mempengaruhi politik uang. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik juga menjadi penyebab. Tidak semua orang bisa memahami esensi dari kata politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang akan ditimbulkan dari perilaku politik tersebut. Istilah yang terdoktrin dimasyarakat bahwa “Politik itu Kejam”, “Politik itu pragmatis-dinamis” sehingga suasana batin bahkan akal sehat kadang mau tergadaikan, kemudian menempuh jalan pintas, yaitu “Bermain Uang” dan menjauhi cara-cara yang bermartabat. Dimasyarakatpun sudah terdoktrin bahwa Money politics menjadi ajang masyarakat mendapatkan uang. “Nomer Piro Wani Piro” (Nomer berapa, berani berapa) … muncul lagi istilah baru “Sinten – Pinten” (Siapa – Berapa). Mereka yang menerima uang terkadang tidak memikirkan konsekuensi, dari gejala kepemimpinan yang akan berlangsung kedepannya. Yang terpenting mereka mendapat uang dan dapat membelanjakannya, walaupun hanya cukup untuk belanja satu hari ditukar dengan enam tahun.
Problem bahkan penyakit akut tersebut sebagai akibat tidak adanya pembelajaran politik di masyarakat terhadap politik yang beretika. Ketika ada hajatan politik, masyarakat bersikap mengabaikan esensi dan lebih mengejar kepentingan pribadi sesaat.
Perlu waktu yang lama untuk mencari formula dalam mengganti “DNA” kita agar budaya politik uang di pilkades tidak jadi aspek bawaan lahir yang turun-temurun, namun demikian bukan berarti tidak bisa diatasi. Inilah menjadi pekerjaan kita semua. Pada tahapan ini justru tanggung jawab diawali pada lingkup pemerintah desa, yang seharusnya memilih peduli agar politik uang bisa dihentikan sejak dini, melalui Panitia dan Pengawas Pilkades. Kecuali “stakeholder” memang bangga bahkan menghendaki Kepala Desa yang terpilih melalui praktek politik uang … Wallahualam.
Penulis: Hary Effendi
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya