Darussalam, SuaraAura.com – Ribuan Jama’ah, alumni dan murid hadiri Haul Abuya Syech Haji Aidarus Abdul Gahny El-Cahlidy yang ke-34, (05/08/23) di Kompleks Pondok Pesantren Darussalam Saran-Kabun, (5/8/23). Para jamaah, alumni dan murid Abuya datang dari berbagai daerah dan provinsi, baik dari Provinsi Riau, Sumatera Barat, Aceh dan daerah-daerah lainnya.
Salah seorang murid Abuya Syech Haji Aidarus Abdul Ghany El-Calidy, Ahmad Taridi, S.HI didampingi sahabatnya, Ismet Syamsir, S.HI di sela kegiatan ziarah (Haul) kepada wartawan mengatakan, bahwa hubungan bathin antara murid dan guru tidak akan pernah putus dimakan usia.
Ahmad Taridi juga menyampaikan, meskipun kami adalah murid dari anak beliau, Syech H. Alaiddin Aidarus Ghany, LC yang juga merupakan Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Saran-Kabun dan pimpinan Jamaah Darussalam, tetapi hubungan bathiniyah Abuya Aidarus selalu ada dalam hati kami. Karena ilmu yang diberikan kepada kami adalah ilmu-ilmu yang juga diajarkan oleh Abuya Aidarus kepada murid-muridnya yang terdahulu, ungkap Taridi.
Sementara itu, Ustadz Asfaraini Aidarus, S. Ag yang merupakan anak kandung Abuya Syech Haji Aidarus Abdul Ghany El-Chalidy menyampaikan, bahwa Abuya Syech Haji Aidarus Abdul Gahny El-Cahlidy merupakan ulama kharismatik yang begitu disegani dan dihormati masyarakat. Beliau lahir pada Tanggal 15 Agustus 1926 di Kenagarian Koto Tangah Kedesaan Batu Bersurat Kecamatan XIII Koto Kampar. Ayah beliau adalah seorang Ulama yang dikenal ahli dalam bidang tasauf dan thariqat Naqsyabandiyah yang bernama Syech Abdul Ghany El-Chalidy Al-Kampari. Sedangkan Ibunya bernama Siti Maryam, seorang penghafal dan fasih dalam membaca Al-Quran yang berasal dari Kenegarian Batu Gajah Tapung. Nama Kecil beliau yang dibuat oleh ayahnya adalah IDRUS. Beliau memiliki 5 saudara kandung seayah dan seibu, antara lain Buya Idrus Ghany, Abdul Razak Ghany, Idris Ghany, Hudrah Ghany, Amiruddin Ghany dan Siti Aminah Ghany.
Masa kecil beliau dididik dan dibina dalam lingkungan keluarga yang agamis dan taat beribadah. Disamping itu beliau mengikuti pendidikan non formal bersama ayahandanya, beliau bersama saudara-saudaranya juga mengikuti pendidikan formal di sekolah pemerintah yaitu Sekolah Rakyat (SR) atau setara dengan Sekolah Dasar (SD) saat ini. Beliau menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat selama 6 (enam) tahun yaitu dari tahun 1933-1938 di Batu Bersurat.
Setelah menyelesaikan masa belajar/mengaji bersama ayahandanya dan juga menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Rakyat pada tahun 1938. Beliau meminta restu dari kedua orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan di Perguruan Darussa’adah Kuok (Setingkat MTs). Sebuah lembaga pendidikan agama yang didirikan oleh kakaknya (satu Ayah berlainan Ibu) Haji Muhammad Zein Ghani (Alumni Universitas Islam India ). Pada tahun 1942 Haji Muhammad Zein membawa adiknya Idrus untuk belajar di lembaga pendidikan yang dipimpin oleh Syekh Haji Ibrahim bernama Training Collect (Setingkat MA) yang terletak di Tiakar, Payakumbuh, Kabupaten 50 kota (Sumatera Barat). Dilihat dari namanya, sekolah ini termasuk lembaga pendidikan modern. Di Training Collect ini Idrus remaja langsung berguru kepada Syekh Haji Ibrahim selama tiga (3) tahun. Dan Pada awal tahun 1945, Idrus kembali ke kampung halamannya Koto Tengah Batu Bersurat.
Beliau adalah seorang yang haus akan ilmu dan tidak puas dengan pendidikan di Tiakar, maka pada Awal Kemerdekaan RI atau sekitar bulan Oktober 1945, Buya Aidarus berangkat menuntut ilmu di negeri Labuhan Haji Aceh Selatan untuk berguru kepada Syech Muda Wali yang merupakan murid ayahnya di bidang thariqat. Dimata teman-temannya dikenal sebagai murid yang cerdas, rajin dan memiliki daya tangkap yang kuat. Buya Aidarus disayangi oleh gurunya, sering menggantikan gurunya mengajar dan mengisi wirid pengajian apabila Syech Muda Wali berhalangan, bahkan dipercaya sebagai bendahara keluarga gurunya dan disegani oleh anak-anak gurunya. Saking dekatnya dengan keluarga gurunya, beliau dianggap sebagai kakak tertua dalam keluarga, dan oleh gurunya nama beliau disempurnakan dengan nama AIDARUS.
Pada tahun 1955, Buya Aidarus diminta oleh orangtuanya untuk pulang kampung dan sesampainya di rumah, Buya Aidarus dijodohkan dengan seorang gadis bernama Rusyda putri ulama terkenal Syech Makshum Panampuang Bukittinggi. Dengan segala kerendahan hati dan karena patuh terhadap orangtuanya, beliau bersedia menerima perjodohan tersebut. Selang beberapa bulan setelah menikah, beliau kembali ke Labuhan Haji untuk meneruskan pendidikannya. Selama lebih 11 tahun (1945-1956) menuntut ilmu di Aceh, beliau mendapatkan dua ijazah dari gurunya, yaitu Ijazah Bustanul Muhaqqiqin dalam bidang pendidikan dan Ijazah Mursyid di bidang thariqat.
Panggilan pengabdian kepada masyarakat dan kelahiran putra beliau yang bernama Alaiddin Athory, menjadi Alasan yang tidak bisa ditolak oleh gurunya untuk pulang kampung ke Batu Bersurat. Selang beberapa bulan seteleh di rumah, Buya Aidarus menyampaikan niat kepada ayahandanya Syech Abdul Ghany bahwa akan mendirikan lembaga pendidikan. Hal tersebut mendapat dukungan dari ayahanda beliau dan masyarakat setempat. Maka pada tanggal 09 Juli 1956 dimulailah pembangunan sekolah agama dengan Sekolah Tarbiyah Islamiyah (STI) Darussalam Tsany diatas lahan wakaf masyarakat seluas 2000 m2. Terdiri dari 4 (empat) lokal belajar dengan ukuran 28 x 7 m yang sangat sederhana sekali. Pendirian lembaga pendidikan ini, Oleh Buya Aidarus bertujuan untuk memberikan pemahaman agama kepada masyarakat yang disebut dengan tafaqquh fiddien dan mencerdaskan bangsa, dengan 3 (tiga) prinsip dasar, yaitu beraqidah ahlussunnah wal-jama’ah, bermazhab Imam Syafi’i RA dan berthariqat naqsyabandiyah .
Santri mulai berdatangan dari berbagai daerah terutama dari anak-anak jamaah thariqat dari tiga aliran sungai Kampar, Tapung dan Rokan serta dari kabupaten lain di Riau bahkan juga dari Sumatera Barat dan Aceh.
Proses kegiatan belajar sempat terhenti selama 2 tahun dari tahun 1961 – 1963 karena Buya Aidarus ditahan di Rutan Bangkinang dan Pekanbaru akibat dianggap sebagai penyebar fitnah dan membuat keonaran masyarakat, tapi kemudian dilepaskan kembali karena tidak ada bukti-bukti yang kuat. Setelah dinyatakan bebas,
Pada Tahun 1970 Buya Aidarus melaksanakan Ibadah haji pertama. Pada tahun itu hanya 2 (dua) orang jamaah haji Kampar bersama dengan H. Abdul Karim Air Tiris (BHR Air Tiris) yang berangkat ke tanah suci menggunakan kapal laut yang dilepas oleh Bupati Kampar waktu itu Bapak Letkol.Soebrantas. Haji Kedua beliau laksanakan pada Tahun 1984 bersama istri tercinta Alm. Umi Rusyda, mertua beliau Alm. Iti Hj. Daenan dan Putra beliau Alaiddin Athory yang saat itu sedang menuntut Ilmu di Universitas Al-Azhar Cairo Mesir.
Setelah sekian lama meninggalkan Labuhan Haji Aceh Selatan, pada Tahun 1974 bersama Putra beliau Alaiddin Athory dan Murid beliau Amiruddin Tgk.Saleh berziarah ke Maqam Guru Beliau. Dalam kunjungan tersebut, Buya Aidarus juga mengunjugi beberapa teman-teman seperjuangan Ponpes di Aceh dan Sumatera Utara.
Dalam kehidupan keseharian beliau, selalu di isi dengan beribadat, mengajar dan berdakwah. Dalam hal beribadat, beliau dikenal sebagai orang ‘alim, ‘abid dan mukhlis. Beliau selalu tekun beribadat dan berzikir sehingga terlihat tingginya wibawa beliau dimata muridnya dan masyarakat. Sebagai pengajar, beliau tidak mengenal capek dan lelah dalam mengajar bahkan sampai larut malam. Beliau mendorong murid-muridnya agar bisa mengajar adik-adik kelasnya. Semenjak berdirinya Pondok Pesantren yang cikal bakal adalah gagasan beliau, telah lahir ribuan alumni dari berbagai daerah yang berkiprah di berbagai bidang, bahkan juga mendirikan beberapa Pondok Pesantren diberbagai daerah yang terus berkembang.
Tidak hanya memimpin madrasah, beliau juga sosok pimpinan jamaah thariqat Naqsyabandiyah. Kegaiatan wirid mingguan, tawajjuh, bai’ah thariqat, suluk (khalwat) setiap Bulan Ramadhan dan Zulhijjah terus dilakukan. Semua itu adalah dedikasi tak ternilai dari Buya Aidarus. Saat ini sudah berdiri 50 (lima puluh) surau suluk yang dipimpin oleh murid-murid beliau yang terdapat di Kampar, Tapung, Rokan dan daerah-daerah lain bahkan sampai ke Sumatera Barat dengan jamaah thariqat yang tersebar hampir mencapai + 20 ribu orang. Dalam berdakwah, Buya Aidarus melaksanakan dakwahnya ke berbagai daerah dan juga wirid kajian rutin ke daerah tiga aliran sungai Kampar, Tapung dan Rokan serta beberapa daerah lainnya.
Semasa hidup banyak kenangan terindah yang diungkapkan oleh keluarga, dunsanak, masyarakat dan murid-murid beliau. Bukan bermaksud melebihkan, tapi itulah pribadi beliau sesungguhnya. Dekat kepada semua orang tanpa mengenal usia, jabatan, kedudukan dan strata social. Murah senyum selalu terpancar dari wajah beliau. Marah kepada muridnya hanya karena sayang dan perhatian yang terlalu berlebihan, bukan amarah tanpa sebab. Biarlah murid-murid dan orang-orang yang mengenal beliau mengungkapkan dengan bahasanya masing-masing.
Memasuki usia 60 tahun beliau memiliki penyakit diabetes akut. Upaya pengobatan terus dilakukan bahkan oleh Gubernur Riau kala itu Bpk. Soeripto ditawarkan berobat ke Singapura, tapi beliau menolak dengan halus yang akhirnya berobat di RS.Lancang Kuning Pekanbaru. Walau dalam keadan sakit, kegiatan mengajar pun terus dilakukan termasuk berdakwah. Hingga suatu hari, beliau di rawat di Rumah Sakit TNI AD Bukittinggi dan dirawat selama 1 Minggu. Karena tidak ada perkembangan, beliau meminta pulang ke Batu Bersurat dan berobat di rumah saja. Berat hati Umi dan kami saat itu mengiyakan permintaan beliau. Saat itu tepat Hari Kamis Tanggal 17 Agustus 1989 dan sebelum pulang ke Batu Bersurat, beliau meminta singgah dulu di rumah Bukittinggi untuk beberapa saat, dan disaat yang sama beliau berpesan kepada Umi untuk memberitahukan kepada Anak Tertua Alaiddin Athory tentang kondisi kesehatannya dan minta segera pulang ke Tanah Air.
Sejak Sabtu sore Buya Aidarus mulai tidak sadarkan diri dan hingga sesaat sebelum ajal menjemput beliau. Sempat berbisik kepada Anak beliau H.Fahkrul Rozi seraya membimbing beliau menuju sakaratulmaut. Tepat Pukul 22.10 Wib Sabtu Malam, Buya Aidarus berpulang kerahmatullah dalam usia 63 Tahun 5 Hari. Tanggal 19 Agustus 1989 M bertepatan dengan 18 Muharram 1411 H. Beliau dimaqamkan di Kompleks PP.Darussalam Batu Bersurat yang dihadiri dan dilepas oleh ribuan murid-murid beliau dari berbagai daerah.
Setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya Hari Senen, Tanggal 05 Juni 1995 setelah 6 tahun terkubur Jasad Buya Aidarus dipindahkan ke Lokasi baru PP. Darussalam di Saran Desa Kabun Kecamatan Kabun akibat adanya Genangan PLTA Koto Panjang, dan hal ini sesuai dengan amanah beliau. Pengantaran pemindahan Jenazah Beliau, diiringi oleh Ribuan Jamaah menuju persemayam terakhir.
Sudah 35 tahun berlalu, dedikasi, jasa dan pengabdian beliau masih terus kita kenang dengan senantiasa meramaikan acara Haul dan Ziarah Tahunan. Seraya membaca ayat-ayat suci Al-Quran dan berdoa yang diiringi dengan nuansa dan nilai silaturrahmi antar sesama keluarga besar Darussalam. Dimana semua kita adalah sama, satu niat, satu guru, satu hati dan satu wadah dengan nama Jamiyah Darussalam. (Adi Jondri)