NasionalPendidikan

Menguatkan Perlindungan Anak melalui Hukum

92
×

Menguatkan Perlindungan Anak melalui Hukum

Sebarkan artikel ini

Anak disebut sebagai anugerah karena kehadiran mereka memberikan kebahagiaan dan makna yang besar bagi keluarga dan masyarakat. Anak merupakan manifestasi dari cinta, kasih sayang, dan rahmat Tuhan kepada manusia. Kehadiran anak juga merupakan bentuk kesinambungan generasi manusia, yang memberikan harapan bagi masa depan umat manusia.

Selain itu, anak juga merupakan sosok yang penuh dengan potensi dan bakat yang dapat berkembang dengan baik jika diberikan lingkungan yang sehat, kasih sayang, dan pendidikan yang baik. Oleh karena itu, sebagai anugerah, anak perlu dilindungi dan diberikan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi.

Kekerasan dan diskriminasi terhadap anak merupakan masalah serius yang masih terjadi di berbagai negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, terdapat 4.116 kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap anak yang dilaporkan pada tahun 2020, dan angka ini diperkirakan jauh di bawah angka sebenarnya karena banyak kasus yang tidak dilaporkan (Kompas, 2020).





Kekerasan dan diskriminasi terhadap anak dapat berdampak buruk pada perkembangan fisik, mental, dan emosional, serta memengaruhi hak asasi manusia. Sebagai negara yang meratifikasi Convention on the Rights of the Child, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi (Erdianti, 2020).

Kekerasan terhadap anak dapat didefinisikan sebagai tindakan atau perilaku yang menyebabkan rasa sakit, cedera fisik atau emosional, dan penderitaan pada anak. Menurut Rizqian (2021), kekerasan dapat berupa fisik, psikologis, seksual, atau eksploitasi anak untuk kepentingan pihak lain.

Contoh kekerasan terhadap anak antara lain penganiayaan, pemukulan, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan eksploitasi kerja. Sementara itu, diskriminasi terhadap anak terjadi ketika anak diperlakukan secara tidak adil atau berbeda dari yang lainnya berdasarkan ras, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status sosial, atau kondisi fisik atau mental.

Diskriminasi dapat terjadi dalam berbagai aspek kehidupan anak, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, dan akses ke layanan publik. Contoh diskriminasi terhadap anak antara lain pengabaian, pelecehan verbal, atau perlakuan yang merugikan dalam hal pendidikan, kesehatan, dan perlindungan.

Dampak kekerasan dan diskriminasi juga dapat mempengaruhi perkembangan psikologis anak, seperti kemampuan untuk membangun hubungan sosial, mengatasi tekanan, dan memecahkan masalah. Anak-anak yang mengalami kekerasan dan diskriminasi juga dapat memiliki kecenderungan untuk menunjukkan perilaku agresif dan tidak sehat. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan dan diskriminasi dapat mengalami gangguan dalam hubungan sosialnya.

Mereka mungkin sulit untuk membangun hubungan yang sehat dengan orang lain dan mengalami kesulitan dalam percaya dan bergaul dengan orang lain. Dampak kekerasan dan diskriminasi terhadap anak tidak hanya berdampak pada anak itu sendiri, tetapi juga dapat mempengaruhi keluarga, masyarakat, dan negara secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting untuk melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan baik serta menjadi generasi yang kuat dan sehat di masa depan.

Perlindungan anak telah diatur dalam kerangka hukum nasional dan internasional sebagai upaya untuk melindungi hak asasi anak. Di tingkat nasional, perlindungan anak diatur dalam berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah, seperti UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Wibowo & Srijadi, 2023). Undang-undang tersebut memberikan landasan hukum bagi negara untuk melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi.

Di tingkat internasional, perlindungan anak diatur dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang disepakati oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1989. Konvensi ini diadopsi oleh sebagian besar negara di dunia dan mengatur hak asasi anak yang harus dilindungi, seperti hak atas kesehatan, pendidikan, perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi seksual, serta perlindungan terhadap penggunaan anak sebagai pelaku kejahatan.

Selain itu, PBB juga telah menetapkan berbagai instrumen hukum lainnya yang terkait dengan perlindungan anak, seperti Deklarasi Hak Anak Universal (Universal Declaration of Children’s Rights) pada tahun 1959, Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak pada tahun 2000, dan Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Anak pada tahun 2006.
Pemerintah juga bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi internasional untuk meningkatkan perlindungan anak. Salah satunya adalah kerjasama dengan UNICEF dalam program “Child-Friendly Cities Initiative” yang bertujuan untuk menciptakan kota yang ramah anak dan melindungi hak-hak anak di dalamnya.

Selain itu, pemerintah juga telah membentuk Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang berfungsi sebagai lembaga independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan kebijakan perlindungan anak di Indonesia (Djusfi, 2019). Komnas PA juga memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi terhadap kasus kekerasan atau diskriminasi anak.

Negara memiliki kewajiban untuk melindungi anak-anak dari kekerasan dan diskriminasi serta memastikan hak-hak mereka terlindungi dengan baik. Kerangka hukum nasional dan internasional tentang perlindungan anak juga menunjukkan bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama antara negara, masyarakat, dan keluarga. Meskipun demikian, masih terdapat banyak hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap perlindungan anak. Beberapa di antaranya adalah minimnya anggaran untuk program perlindungan anak, minimnya kesadaran masyarakat tentang hak-hak anak, dan minimnya akses ke lembaga perlindungan anak.

Oleh karena itu, diperlukan upaya peningkatan implementasi tanggung jawab negara dalam menjamin perlindungan anak, seperti peningkatan anggaran untuk program perlindungan anak, edukasi dan sosialisasi tentang hak-hak anak, serta perbaikan akses ke lembaga perlindungan anak. ***

Penulis : Indah Nur Salsabila
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas