PEKANBARU, SuaraAura.com – Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) semakin sulit terjangkau oleh para petani sawit di Riau. Sejumlah persyaratan baru yang harus dipenuhi petani membuat tahun 2022 ini membuat realisasi program PSR nol persen alias tidak ada sama sekali.
Hal ini disampaikan Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Vera Vigianti SHut MM dalam Diskusi Publik Problematika PSR di Riau yang ditanam oleh Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Riau, Selasa (27/12/2022).
“Tahun 2022 untuk pertama kalinya Riau tidak mendapatkan realisasi. Ini karena petani harus mengikuti persyaratan cukup banyak dan menyulitkan,” kata Vera.
Ia menjelaskan, program PSR yang sudah digulirkan sejak tahun 2016 belum dilakukan maksimal di Riau. Rata-rata realisasi luasan yang di-replanting hanya sekitar 30 persen dari alokasi setiap tahunnya yang ditargetkan seluas 20.000 hektar.
Terlebih lagi, sejak diberlakukannya aturan PSR yang baru melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit, pengurusan PSR menjadi lebih rumit.
Salah satu kesulitan ini karena syarat yang harus diurus melewati antar lintas sektoral seperti Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian LHK dan instansi lainnya.
“Syarat terbaru yang harus dipenuhi petani adalah adanya surat keterangan bebas kawasan lindung gambut. Ini tentu semakin berat dipenuhi karena 60 persen lahan perkebunan sawit di Riau memang berada di kawasan gambut,” ungkap Vera.
Selama ini, sambungnya, untuk memenuhi syarat sebelumnya yakni bebas kawasan hutan saja, masih banyak petani sawit yang terganjal karena berdasarkan RT/RW Riau banyak perkebunan sawit rakyat masuk kawan hutan, padahal sudah puluhan tahun lalu berdiri kebun sawitnya.
Vera menilai, sulitnya akses terhadap PSR ini menambah deretan luka Riau. Sebagai produsen hampir 34 persen CPO nasional, Riau malah tak didukung pemerintah pusat.
Ia mengatakan kucuran dana yang didapat Riau lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) amat minim dibandingkan dengan cuan dari bisnis buah emas itu.
“Perkebunan yang sangat luas di Riau, tapi uang kita tidak kembali ke Riau dan tersimpan di pusat. Hanya sekitar 1,6 persen saja yang kita peroleh ke daerah yang angkanya sekitar Rp 1 triliunan, sementara dana di BPDPKS itu Rp 116 triliun” ujar Vera.
Beragam fasilitas berupa sarana prasarana, beasiswa dan pelatihan dari BPDPKS amat sedikit diterima oleh Riau. Padahal, pembenahan sektor kelapa sawit di Bumi Lancang Kuning sangat mendesak.
“Dampak lingkungan dan kerusakan jalan sangat terasa dialami Riau. Tapi, kita tidak memiliki kemampuan untuk memperbaiki itu semua. Karena kita tidak punya dana,” tutup Vera.
Senada dengan Vera, Sekjen DPP Apkasindo Dr. (Can) Rino Afrino, ST, MT juga menyoroti sejumlah regulasi yang semakin menyulitkan petani sawit di Riau untuk dapat mengikuti program PSR. “Ada sejumlah aturan yang menurut saya aneh bin ajaib. Bukannya mempermudah petani mendapat akses ke program PSR, tapi malah mempersulit. Padahal dananya ada, untuk apa dibiarkan begitu saja,” ujarnya.
Menurutnya harus ada solusi berupa revisi peraturan terkait PSR ini agar perkebunan sawit yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian sejumlah daerah, seperti Riau, dapat terus berjalan. “Ini tantangan perkebunan sawit rakyat di Riau di masa mendatang. Produksi bakal terus menurun karena usia pohon sawit yang sudah tidak produktif dan harus direplanting, belum lagi jika kita melihat harga pupuk yang naik 100 persen setahun terakhir. Ini yang harus kita perjuangkan bersama karena kalau sawit di Riau anjlok, multiflier efeknya juga akan dirasakan sebagian besar masyarakat,” tegasnya.(***)